Keluarga
merupakan sebuah pondasi dan institusi yang paling dicintai dalam
Islam. Masyarakat terbentuk dari unit-unit yang lebih kecil dan keluarga
merupakan unit yang paling kuno dan alami serta titik diawalinya
kehidupan manusia.
Keluarga adalah pusat perkumpulan dan poros untuk melestarikan
tradisi-tradisi serta tempat untuk menyemai kasih sayang dan emosional.
Unit ini ibarat landasan sebuah komunitas dan ketahanannya akan
mendorong ketangguhan sebuah masyarakat.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa sebagai institusi terkecil dalam masyarakat,
keluarga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan
pembangunan sebuah bangsa. Hal ini terkait erat dengan fungsi keluarga
sebagai wahana pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas.
Keluarga
memiliki peran fundamental dalam menjaga bangsa-bangsa dari dekadensi
dan kehancuran. Karena itu, undang-undang juga harus disusun untuk
mempermudah terbentuknya keluarga, memelihara kesuciannya, dan
memperkuat hubungan kekeluargaan berdasarkan hak-hak dan etika Islam.
Dari segi psikologi, keluarga juga punya peranan penting dalam meredam
emosi, mencegah depresi, dan memberi dampak-dampak psikis lain bagi
seseorang. Anak-anak yang kehilangan orang tuanya akan larut dalam
kesedihan, diliputi rasa takut, bersikap emosi, dan kehilangan rasa
tenang. Dari sini terlihat kontribusi positif keluarga dalam menjaga
kesehatan mental dan memberi ketahanan terhadap tekanan-tekanan jiwa dan
depresi.
Tulisan
ini mencoba meneliti dan mengkaji kedudukan keluarga dalam kitab suci
al-Quran dan riwayat. Kitab wahyu ini dalam berbagai ayatnya menyinggung
sejumlah masalah seputar keluarga antara lain, prinsip kesucian
keluarga dan prinsip pernikahan. Ini adalah bukti bahwa prinsip
pernikahan memiliki berbagai aspek dan juga punya dampak multi dimensi.
Kedua Orang Tua; Poros Keluarga
Kedua
orang tua sebagai poros keluarga mendapat perhatian dan perlakuan
khusus dalam Islam. Al-Quran setelah memberi perintah menyembah Allah
Swt dan larangan menyekutukan-Nya, juga memerintahkan untuk berbuat baik
kepada kedua orang tua.
Dalam surat An-Nisaa’ ayat 36, Allah Swt berfirman: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” Surat Al-An’am ayat 151 menyebutkan, “Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” Sementara surat Al-Israa’ menyatakan, “Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
Seorang
mufassir besar Islam, Allamah Thabathabai ketika menafsirkan ayat 151
surat Al-An’am dalam tafsir al-Mizan menulis, ayat ini menunjukkan bahwa
durhaka kepada kedua orang tua termasuk dosa yang paling besar setelah
menyekutukan Allah Swt, sebab kelestarian generasi umat manusia
tergantung pada eksistensi keluarga yang dibangun atas dasar mawaddah
dan rahmah. Dengan melemahnya pilar-pilar keluarga, masyarakat yang
terdiri dari individu-individu tidak lagi memiliki kekerabatan di antara
mereka dan juga hubungan kasih sayang. Pada akhirnya, masyarakat akan
tercerai-berai dan kebahagiaan dunia dan akhirat mereka akan binasa.
Imam
Ali Zainal Abidin As-Sajjad as dalam Risalatul Huquqnya mengatakan,
“Adapun hak seorang ibu atas engkau, ketahuilah bahwa ia telah
mengandungmu saat tidak ada orang lain yang berbuat seperti itu, ia
mempertaruhkan hidupnya demi engkau ketika tidak ada orang lain yang
melakukan seperti itu, dan ia memuaskan dahaga seluruh anggota tubuhmu.
Ia menutupi dirimu saat engkau tidak memiliki penutup, ia rela diterpa
terik matahari sementara engkau terlindungi, ia melupakan tidurnya demi
dirimu dan menghabiskan waktunya untukmu di tengah terik panas dan
dingin yang menggigil. Dan engkau tidak punya kemampuan untuk
berterimakasih kepadanya kecuali dengan pertolongan Tuhan. Sementara hak
ayahmu atas engkau, ketahuilah bahwa ia adalah akar dan dasar
keberadaanmu. Jika ia tiada, engkau pun tidak akan pernah ada.”
Dalam surat Ibrahim ayat 24-26, Allah Swt berfirman: “Tidakkah
engkau perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik
seperti pohon yang baik, akarnya kokoh dan cabangnya (menjulang) ke
langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan izin
Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya
mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon
yang buruk pula, yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi;
tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.”
Pernikahan, Mukaddimah Membangun Keluarga
Membangun
keluarga merupakan upaya yang wajib ditempuh oleh setiap pasangan yang
diawali dengan pernikahan. Pernikahan adalah hal mendasar dalam
membentuk sebuah keluarga Islami. Tanpa pernikahan, mustahil sebuah
keluarga akan mencapai kebahagiaan-kebahagiaan yang dijanjikan Islam.
Nabi Muhammad Saw sebagai utusan Allah Swt yang menyebarkan agama Islam
di bumi ini, memuji institusi keluarga sebagai bagian dari sunah beliau.
Dengan demikian, sebuah pernikahan harus betul-betul direncanakan
dengan baik dan matang. Termasuk dalam hal ini adalah pemilihan pasangan
hidup, yang bukan hanya sekedar atas pertimbangan kecantikan/ketampanan
atau pekerjaan dan status sosial ekonominya, tetapi juga agama dan
kualitas keluarga tersebut.
Pernikahan
adalah sebuah sunnah Ilahi yang tidak mengalami perubahan. Dalam
al-Quran, perkawinan tidak hanya diperuntukkan untuk manusia, tapi juga
bagi seluruh makhluk hidup. Allah Swt berfirman: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan.” (QS: Adz-Dzaariyat).
Allamah
Thabathabai dalam tafsir al-Mizan menuturkan, “Perkawinan merupakan
bagian alamiah dari manusia dan juga seluruh binatang. Tradisi sosial
ini terdapat di tengah seluruh bangsa dan akan selalu ada. Hal ini bukti
atas dimensi fitrah perkawinan dan mengingat Islam sebagai agama
fitrah, maka agama ini memberikan sakralitas kepada pernikahan.”
Pernikahan
merupakan sebuah ikatan suci untuk mencapai kebahagiaan dan
melestarikan generasi manusia. Islam memberikan perhatian khusus kepada
masalah ini dan menjadikannya sesuatu yang sakral. Sakralitas pernikahan
tertuang dalam berbagai riwayat dan bermacam ungkapan antara lain:
1. Pernikahan
adalah sunnah Rasul Saw. “Nikah adalah sunnahku dan barangsiapa yang
membenci sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.”
2. Keluarga
merupakan landasan dan asas yang paling dicintai dalam Islam. Imam Ali
Ridha as berkata: “Dalam Islam tidak dibangun sebuah landasan yang
paling dicintai oleh Allah Swt selain pernikahan.”
3. Pernikahan
akan menjaga agama seseorang. Imam Jakfar Shadiq as berkata:
“Barangsiapa yang sudah melakukan pernikahan, maka ia telah menjaga
setengah agamanya dan jagalah setengahnya lagi dengan ketaqwaan.”
4. Ada
banyak keutamaan yang didapatkan oleh orang yang sudah menikah. Imam
Jakfar Shadiq berkata: “Dua rakaat shalat yang didirikan oleh orang yang
sudah menikah lebih utama dari 70 rakaat shalat orang yang belum
berkeluarga.”
Selain
riwayat yang mendorong seseorang untuk melakukan pernikahan dan
membentuk rumah tangga, Islam juga menyinggung beberapa filosofi
pernikahan yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dunia
dan akhirat.
a. Pernikahan, kunci ketenangan dan kedamaian
Dalam
al-Quran surat Al-A’raf ayat 189, Allah Swt berfirman: “Dialah yang
menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan
istrinya agar dia merasa tenang.” Ayat ini menegaskan bahwa laki-laki
dan perempuan berasal dari diri yang satu dan pernikahan sebagai kunci
ketenangan. Dalam surat Ar-Ruum ayat 21, Allah Swt berfirman: “Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tentram kepadnya, dan dijadikan-Nya di antaramu kasih sayang dan rahmat.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir.”
Pernikahan
akan menghadirkan ketenangan, karena laki-laki dan perempuan adalah
pelengkap dan pemberi rasa bahagia satu sama lain. Ia tidak akan
sempurna tanpa kehadiran pasangannya dan setiap yang kekurangan akan
terdorong untuk mencari kesempurnaan. Begitu juga setiap yang
membutuhkan akan memiliki kecenderungan alamiah untuk memenuhinya. Oleh
karena itu, wajar jika ada daya tarik yang kuat dan alamiah antara
seseorang dengan pelengkapnya dan ia akan merasa damai jika sudah
meraihnya.
Dalam
pernikahan, manusia akan memperoleh ketenangan dan kedamaian jasmani
dan ruhani serta ketenangan dan kedamaian individual dan sosial.
Sementara stabilitas kehidupan seseorang akan terganggu dengan
meninggalkan pernikahan dan tidak tersalurkannya kebutuhan biologis.
Orang yang belum membentuk rumah tangga juga kurang begitu peduli dengan
tanggung jawab sosial dan sering terlibat dalam tindakan kriminal.
Namun, mereka yang sudah berumah tangga akan merasa lebih bertanggung
jawab dan lebih percaya diri, seolah-olah mereka menemukan jati diri
baru.
Setelah
menyinggung masalah ketenangan, al-Quran memaparkan prinsip mawaddah
dan rahmah. Pada dasarnya, unsur ini adalah perekat dan penyatu
masyarakat. Mawaddah dan rahmah antara suami-istri akan menciptakan
nuansa kedamaian dan ketenangan.
Ayatullah
Syahid Murthadha Mutahhari mengatakan, “Tidak mengherankan jika
sebagian orang tidak bisa membedakan antara syahwat dan kasih sayang.
Mereka mengira bahwa hal yang merekatkan suami-istri hanya terbatas pada
hawa nafsu dan syahwat. Mereka tidak mengetahui bahwa ada
kecenderungan-kecenderungan lain dalam diri manusia selain sifat egoisme
dan oportunis, yang justru menjadi sumber pengorbanan dan manifestasi
kemanusiaan. Hal ini dalam al-Quran dinamakan mawaddah dan rahmah.”
Pada
intinya, sumber ketertarikan suami-istri dan ketenangan suami di bawah
pancaran kasih sayang istri adalah mawaddah dan rahmah yang diberikan
Allah Swt kepada keduanya. Tentu saja mawaddah dan rahmah ini terpisah
dari hawa nafsu yang juga dimiliki oleh binatang.
b. Menjaga kemuliaan dan kewibawaan manusia
Masalah
penting dalam budaya Islam adalah menjaga kemuliaan dan kewibawaan
manusia. Islam melarang segala sesuatu yang akan menjatuhkan harga diri
dan kemuliaan seseorang. Dan sebaliknya, mengajurkan sesuatu yang
menyebabkan terjaganya kemuliaan manusia. Dalam surat al-Baqarah ayat
187, Allah Swt berfirman: “Istri-istrimu adalah pakaian bagimu dan engkau juga pakaian bagi mereka.”
Suami-istri ibarat pakaian satu sama lain dan akan menutupinya dari
segala hal yang menjatuhkan kehormatan dan harga diri. Mereka saling
menjaga diri agar tidak terseret ke dalam lembah dosa.
Suami-istri
harus saling menjaga rahasia dan menjadi hiasan bagi sesama. Pakaian
selain berfungsi sebagai hiasan, juga penutup rahasia keluarga agar aman
dari akses orang asing. Mereka juga dianjurkan untuk berupaya
menyelesaikan problema-problema rumah tangga secara tertutup, karena
al-Quran menilai hubungan rumah dan keluarga sebagai perjanjian yang
kuat dan tidak boleh menodainya dengan berbagai alasan. “Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS: An-Nisaa:21).
c. Pintu menuju keberkahan
Pada
dasarnya, kebanyakan laki-laki dan perempuan menghindari menerima
tanggung jawab pernikahan dengan bermacam alasan seperti, kemiskinan dan
ketidakmampuan finansial. Namun, al-Quran secara jelas mengingatkan
bahwa pintu menuju rezeki dan berkah adalah pernikahan. Dalam surat
An-Nuur ayat 32, Allah Swt berfirman: “Dan nikahkanlah orang-orang
yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang saleh dari
hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin,
Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Ayat
tersebut tidak hanya mengajak kedua orang tua untuk mempersiapkan
mukaddimah pernikahan putra-putrinya, tapi juga menyeru siapa saja yang
mampu untuk saling membantu. Jika ada kekhawatiran terkait masalah
ekonomi, Allah Swt akan menganugerahkan karunia-Nya kepada mereka.
Orang-orang yang masih sendiri kurang merasa bertanggung jawab dan tidak
memanfaatkan kemampuannya secara maksimal untuk memperoleh pendapatan
halal. Akan tetapi setelah berumah tangga, mereka akan menjadi seorang
pribadi sosial dan merasa bertanggung jawab atas istri dan anak-anaknya.
Mereka akan memanfaatkan seluruh kapasitasnya dan mengambil inisiatif
untuk mengatasi berbagai problema hidup.
Imam
Jakfar Shadiq as berkata: “Barangsiapa yang meninggalkan perkawinan
karena takut miskin, maka ia telah berburuk sangka kepada Allah Swt.”
Dalam riwayat lain, Imam Shadiq as berkata: “Rezeki ada bersama istri
dan anak-anak.” Selain bantuan materi, pertolongan ghaib Tuhan juga akan
membantu orang-orang yang menikah demi menjaga kemuliaan dan
kesuciannya.
d. Kelanjutan dan kelestarian generasi manusia
Dalam
kitab Tauhid Mufaddhal, Imam Jakfar Shadiq as menganggap
kebutuhan-kebutuhan yang didasari oleh syahwat sebagai faktor kelanjutan
hidup manusia. Allah Swt telah menempatkan sebuah penggerak dalam
struktur psikologi manusia, yang akan mendorongnya memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya. Imam Shadiq as berkata: “Renungkanlah
aktivitas-aktivitas manusia mulai dari makan, tidur, dan menyalurkan
kebutuhan biologis serta hal-hal lain yang sudah diatur. Sesungguhnya
Allah Swt telah menempatkan kekuatan penggerak dalam diri manusia.
Kekuatan itu akan mendorong mereka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.”
e. Kesehatan mental dan keterjagaan dari dosa
Kebutuhan
biologis merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia di samping
kebutuhan pada estetika, kasih sayang dan cinta. Naluri kebinatangan
akan membawa manfaat bagi manusia selama disalurkan secara benar,
proposional, dan legal, namun akan tergolong sejenis penyakit jika
bersikap berlebihan. Kini, para ilmuan menemukan berbagai jenis penyakit
akibat menuruti keinginan hawa nafsu dan menyalurkannya dengan
cara-cara yang tidak benar.
Islam
mengadopsi dua cara untuk menjaga kesehatan mental seseorang. Jalan
pertama adalah pernikahan. Sementara cara kedua adalah menerapkan
batasan-batasan tertentu untuk mencegah pergaulan bebas, yang dapat
meruntuhkan nilai-nilai dan menghancurkan sebuah bangsa.
Kesimpulan
Keluarga
sebagai poros pencipta ketenangan dan kasih sayang, memiliki tempat
istimewa dalam Islam. Orang tua dan keluarga punya peran dominan dalam
rumah tangga untuk memberi bimbingan dan petunjuk kepada putra-putrinya.
Problema keluarga mendapat perhatian berbagai cabang ilmu pengetahuan
seperti, sosiologi, psikologi, kriminologi dan ilmu pendidikan.
Kajian
terhadap sejumlah ayat dan riwayat akan mengantarkan kita pada filosofi
pernikahan antara lain, pernikahan, faktor ketenangan dan kedamaian,
penjaga kemuliaan dan kewibawaan manusia, pintu menuju keberkahan, jalan
melestarikan generasi umat manusia, dan solusi menjaga kesehatan mental
dan terhindar dari dosa.
Oleh
karena itu, kegoncangan bangunan keluarga dan keruntuhan sistem luhur
masyarakat harus dicegah dengan menjaga lingkungan privasi keluarga,
mendorong pernikahan, mencegah pergaulan bebas, dan mempermudah
pernikahan. Metode seperti ini akan melahirkan keluarga bahagia dan
masyarakat yang sehat.
Penulis: Sayyid Eshaq Hosseini Kohsari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar